Senandung Masyarakat Madinah Menyambut Kedatangan Rasulullah SAW
Syair atau “nyanyian” Thala’al Badru ‘Alaina yang dilantunkan kaum Anshor saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di Madinah (hijrah dari Makkah) tercatat sebagai lagu tertua dalam sejarah Islam. Saat itu lagu tersebut dilantunkan dengan iringan rebana yang ditabuh bersama-sama oleh kaum Anshor. Bisa dikatakan, Thala’al Badru ‘Alaina merupakan tonggak sejarah kemunculan dan berkembangnya nasyid hingga saat ini.
طلع البدر علينا
من ثنيات الوداع
وجب الشكر علينا
ما دعى لله داع
Thola’al Badru ‘alaina
Min Tsaniyatil Wada’
Wajaba syukru ‘alaina
Ma da’a lillahi da’
Purnama telah terbit di atas kami
dari arah Tsaniyatul Wada’
Kita wajib mengucap syukur
Dengan doa kepada Allah semata.
NASYID dalam pengertian senandung, nyanyian, atau syair sudah berkembang saat Islam hadir didakwahkan Rasulullah SAW di Jazirah Arab.
Rasulullah SAW saat itu “mendiamkan” (taqrir) atau tidak melarang syair-syair yang berkembang di kalangan Sahabat, selama isi syair itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Namun kalangan ulama mereka (Salafi/Wahabi) berpendapat bahwa dari sisi periwayatan (takhrij) kisah tersebut lemah (dhoif). Sanad kisah tersebut dikatakan terputus tiga tingkat secara berurutan yaitu sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, dan hadist dengan sanad semacam inilah yang oleh para ulama hadist dinamakan dengan mu’dhol, sedangkan mu’dhol adalah sebuah hadist yang lemah.
Luar biasa , sebuah syair lagu juga ditinjau mereka (Salafi/Wahabi) dari sisi periwayatan. Apakah maksud mereka bahwa syair lagu tersebut tidak pernah ada ketika kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah ? Sehingga segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan para Sahabat adalah bid’ah , kullu bida’atin dlolalah dan segala kesesatan di Neraka ?
Jadi kalau kita melantunkan syair lagu di atas maka kelak akan ditempatkan di neraka ?
Andaikatapun syair lagu tersebut lahir setelah generasi Salafush Sholeh apakah merupakan sebuah bid’ah atau sebuah kesesatan ?
Mereka seolah-olah tidak dapat menentukan mana yang baik dan buruk berdasarkan petunjukNya mungkin saja karena mereka terpengaruh kaidah tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya).
Pendapat mereka (Salafi/Wahabi) “Kisah ini pun lemah kalau kita tinjau dari sisi matannya yaitu: Bahwa daerah Tsaniyatul Wada’ adalah sebuah daerah yang berada di sebelah utara kota Madinah, sedangkan Makkah berada di sebelah selatan Madinah. dan orang Mekah yang hendak menuju ke Madinah tidak akan pernah melewati daerah Tsaniyatul wada’. Inilah yang diriwayatkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad, beliau berkata: “….ini adalah kesalahan yang sangat nyata, karena daerah Tsaniyatul wada’ berada di daerah Syam, daerah ini tidak akan pernah dilihat oleh orang yang datang dari mekah ke madinah, dan tidak akan dilewati kecuali oleh orang yang berangkat dari Madinah menuju syam.” (lihat Zadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim al Jauziah)
Ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah kita kenal sebagaimana guru beliau ulama Ibnu Taimiyah adalah ulama yang memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan metodologi yang kami katakan sebagai “terjemahkan saja” atau secara dzahir, apa yang tertulis (tersurat) atau juga pemahaman dengan “pikiran dan memori” atau pemahaman secara ilmiah.
Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan “pikiran dan memori”, apa yang tersurat atau secara ilmiah saja namun kita harus melanjutkannya dengan memahami apa yang tersirat, harus mengambil pelajaran , hikmah (pemahaman yang dalam) dengan menggunakan akal dan hati pada jalan Allah ta’ala dan RasulNya.
Begitu pula dengan syair lagu di atas, kita harus memahaminya dengan “akal dan hati” , memahaminya sebagai ungkapan cinta
Mereka (Salafi/Wahabi) mendefinisikan ibadah dalam skala yang sangat luas sehingga berakibat fatal.
Mereka tidak dapat membedakan antara ibadah dalam kategori amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan ibadah dalam kategori amal kebaikan (amal sholeh)
Dalam agama Islam, kita paham bahwa melantunkan lagu/syair adalah bukan termasuk ibadah dalam kategori amal ketaatan namun merupakan ibadah kategori amal kebaikan (amal sholeh).
Ibadah kategori amal ketaatan adalah ibadah yang dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai “mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka”. Juga amal ketaatan kita jumpai dalam hadits qudsi sebagai “perkara yang Aku Wajibkan”
Sedangkan ibadah kategori amal kebaikan (amal sholeh), ibadah yang menumbuhkan kecintaan Allah ta’ala kepada hambaNya
“Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah (amal kebaikan / amal sholeh) hingga Aku mencintainya“. (HR Bukhari)
Oleh karenanya , bahwa amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) adalah “bukti cinta” kita kepada Allah ta’ala dan RasulNya sedangkan amal kebaikan (amal sholeh) adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah ta’ala dan RasulNya.
Begitu pula dengan syair lagu di atas, kita harus memahaminya dengan “akal dan hati” , memahaminya sebagai ungkapan cinta.
Sekali lagi ingat... kita harus dapat membedakan antara ibadah dalam kategori amal ketaatan dengan ibadah kategori amal kebaikan (amal sholeh) atau antara “bukti cinta” dengan “ungkapan cinta”.
Semoga bermanfa'at..
Syair atau “nyanyian” Thala’al Badru ‘Alaina yang dilantunkan kaum Anshor saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di Madinah (hijrah dari Makkah) tercatat sebagai lagu tertua dalam sejarah Islam. Saat itu lagu tersebut dilantunkan dengan iringan rebana yang ditabuh bersama-sama oleh kaum Anshor. Bisa dikatakan, Thala’al Badru ‘Alaina merupakan tonggak sejarah kemunculan dan berkembangnya nasyid hingga saat ini.
طلع البدر علينا
من ثنيات الوداع
وجب الشكر علينا
ما دعى لله داع
Thola’al Badru ‘alaina
Min Tsaniyatil Wada’
Wajaba syukru ‘alaina
Ma da’a lillahi da’
Purnama telah terbit di atas kami
dari arah Tsaniyatul Wada’
Kita wajib mengucap syukur
Dengan doa kepada Allah semata.
NASYID dalam pengertian senandung, nyanyian, atau syair sudah berkembang saat Islam hadir didakwahkan Rasulullah SAW di Jazirah Arab.
Rasulullah SAW saat itu “mendiamkan” (taqrir) atau tidak melarang syair-syair yang berkembang di kalangan Sahabat, selama isi syair itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Namun kalangan ulama mereka (Salafi/Wahabi) berpendapat bahwa dari sisi periwayatan (takhrij) kisah tersebut lemah (dhoif). Sanad kisah tersebut dikatakan terputus tiga tingkat secara berurutan yaitu sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, dan hadist dengan sanad semacam inilah yang oleh para ulama hadist dinamakan dengan mu’dhol, sedangkan mu’dhol adalah sebuah hadist yang lemah.
Luar biasa , sebuah syair lagu juga ditinjau mereka (Salafi/Wahabi) dari sisi periwayatan. Apakah maksud mereka bahwa syair lagu tersebut tidak pernah ada ketika kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah ? Sehingga segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan para Sahabat adalah bid’ah , kullu bida’atin dlolalah dan segala kesesatan di Neraka ?
Jadi kalau kita melantunkan syair lagu di atas maka kelak akan ditempatkan di neraka ?
Andaikatapun syair lagu tersebut lahir setelah generasi Salafush Sholeh apakah merupakan sebuah bid’ah atau sebuah kesesatan ?
Mereka seolah-olah tidak dapat menentukan mana yang baik dan buruk berdasarkan petunjukNya mungkin saja karena mereka terpengaruh kaidah tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya).
Pendapat mereka (Salafi/Wahabi) “Kisah ini pun lemah kalau kita tinjau dari sisi matannya yaitu: Bahwa daerah Tsaniyatul Wada’ adalah sebuah daerah yang berada di sebelah utara kota Madinah, sedangkan Makkah berada di sebelah selatan Madinah. dan orang Mekah yang hendak menuju ke Madinah tidak akan pernah melewati daerah Tsaniyatul wada’. Inilah yang diriwayatkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad, beliau berkata: “….ini adalah kesalahan yang sangat nyata, karena daerah Tsaniyatul wada’ berada di daerah Syam, daerah ini tidak akan pernah dilihat oleh orang yang datang dari mekah ke madinah, dan tidak akan dilewati kecuali oleh orang yang berangkat dari Madinah menuju syam.” (lihat Zadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim al Jauziah)
Ulama Ibnu Qoyyim al Jauziah kita kenal sebagaimana guru beliau ulama Ibnu Taimiyah adalah ulama yang memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan metodologi yang kami katakan sebagai “terjemahkan saja” atau secara dzahir, apa yang tertulis (tersurat) atau juga pemahaman dengan “pikiran dan memori” atau pemahaman secara ilmiah.
Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan “pikiran dan memori”, apa yang tersurat atau secara ilmiah saja namun kita harus melanjutkannya dengan memahami apa yang tersirat, harus mengambil pelajaran , hikmah (pemahaman yang dalam) dengan menggunakan akal dan hati pada jalan Allah ta’ala dan RasulNya.
Begitu pula dengan syair lagu di atas, kita harus memahaminya dengan “akal dan hati” , memahaminya sebagai ungkapan cinta
Mereka (Salafi/Wahabi) mendefinisikan ibadah dalam skala yang sangat luas sehingga berakibat fatal.
Mereka tidak dapat membedakan antara ibadah dalam kategori amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan ibadah dalam kategori amal kebaikan (amal sholeh)
Dalam agama Islam, kita paham bahwa melantunkan lagu/syair adalah bukan termasuk ibadah dalam kategori amal ketaatan namun merupakan ibadah kategori amal kebaikan (amal sholeh).
Ibadah kategori amal ketaatan adalah ibadah yang dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai “mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka”. Juga amal ketaatan kita jumpai dalam hadits qudsi sebagai “perkara yang Aku Wajibkan”
Sedangkan ibadah kategori amal kebaikan (amal sholeh), ibadah yang menumbuhkan kecintaan Allah ta’ala kepada hambaNya
“Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah (amal kebaikan / amal sholeh) hingga Aku mencintainya“. (HR Bukhari)
Oleh karenanya , bahwa amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) adalah “bukti cinta” kita kepada Allah ta’ala dan RasulNya sedangkan amal kebaikan (amal sholeh) adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah ta’ala dan RasulNya.
Begitu pula dengan syair lagu di atas, kita harus memahaminya dengan “akal dan hati” , memahaminya sebagai ungkapan cinta.
Sekali lagi ingat... kita harus dapat membedakan antara ibadah dalam kategori amal ketaatan dengan ibadah kategori amal kebaikan (amal sholeh) atau antara “bukti cinta” dengan “ungkapan cinta”.
Semoga bermanfa'at..
itulah ciri salafi, mengedepankan kebenaran dalam beramal,, org yg mengamalkan islam secara murni mereka akan menjadi ghuroba, org yg asing,,
BalasPadam